Di sebuah desa kecil di Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten, tepatnya di Kampung Gorda Lio, tersimpan sebuah cahaya yang dipancarkan dari seorang seniman yang mengukir inspirasi bagi siapa pun yang melihatnya. Dialah Muhammad Nur namanya.
Terlahir tanpa kedua tangan, Muhammad Nur mampu membuktikan jika keterbatasan fisik bukanlah suatu penghalang untuk mengejar sebuah mimpi besar. Tekadnya untuk tidak menyerah pada keadaan ia buktikan melalui karya seni kaligrafi.
Sesuai dengan namanya. Nur terlihat tetap konsisten memancarkan cahaya mengejar obesinya dalam dunia seni kaligrafi. Kecintaanya pada seni kaligrafi bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba melainkan telah mengakar sejak di usia remaja.
Dengan semangat yang membara, Pria lulusan Madrasah Tsanawiyah ini melukis setiap karya seninya dengan sentuhan yang berbeda. Manakala orang lain melakukan aktivitas ini dengan kedua tangan. Ia justru kebalikannya.
Kedua kaki yang ia anggap sebagai anugerah ia gunakan seoptimal mungkin untuk menunjang aktivitasnya termasuk melukis. Teknik tak lazim dalam seni gambar ini awalnya dianggap berat, namun berkat kegigihan dan ketekunannya, teknik ini akhirnya dikuasinya secara sempurna. “Awalnya susah karena sering mungkin jadi terbiasa”, ucap Nur saat menoleh usai menulis kaligrafi di atas kertas beraksara Arab.
Seiring berjalannya waktu, prestasi Nur di bidang seni kaligrafi tidak hanya dikenal di kalangan lokal, tetapi juga merambah ke daerah-daerah lain di Indonesia seperti Lampung dan Jakarta, hal ini berkat upaya pemasaran yang ia lakukan melalui akun Facebook hasil buatan Adiknya.
Bisnis yang tidak memikirkan profit
Dalam menjalankan bisnis seni kaligrafi, Nur memilih pendekatan yang unik. Meskipun telah menciptakan banyak karya yang menakjubkan, ia tidak pernah mematok harga untuk setiap karyanya. Sebaliknya, Nur menjual karyanya sesuai dengan permintaan dan penawaran awal yang diucapkan oleh setiap calon pembeli.
Pendekatan ini tidak hanya menunjukkan sikap fleksibel Nur dalam berbisnis, tetapi juga mencerminkan rasa rendah hati. Karena baginya, seni kaligrafi bukan hanya tentang profit semata melainkan tentang keindahan.
“Engga pernah patok harga, berapapun harganya dijual”, ucap Nur dengan penuh ketulusan.
Ketika karyanya tidak berhasil terjual, Nur tidak putus asa. Ia memilih untuk memajang karyanya di rumahnya, memberikan mereka ruang untuk tetap dihargai. Kadang-kadang, ia juga menghibahkan karyanya ke masjid atau musola, sebagai bentuk pengabdian dan kontribusi pada masyarakat.
Peran keluarga dan marbot Musola
Peran keluarga memiliki dampak besar dalam membentuk karakter Nur. Namun, dukungan yang ia terima dari keluarga hanya sebatas dukungan moral, tidak dengan dukungan materi. Maklum kondisi ekonomi keluarganya pun tergolong pas-pasan.
Nur hidup seorang diri di sebuah rumah kecil hasil peninggalan dari kedua orang tuanya. Ketika terjebak dalam situasi yang sulit, tidak jarang membuatnya terpaksa harus mendatangi rumah adik dan kakaknya yang dianggap lebih beruntung secara materi. “Ketika sulit engga ada lagi kalau bukan saudara dekat”. Ucap Nur dengan nada pelan.
Selain menjadi seorang seniman kaligrafi, Nur juga memegang peran ganda yaitu sebagai marbot di sebuah musola yang tak jauh dari rumahnya. Aktivitas ini bukanlah hal baru baginya, melainkan telah dilakoninya sejak lama.
Selain untuk mengisi kekosongan dan memberikan kontribusi positif pada lingkungan sekitar, Nur juga berharap dapat memperoleh penghasilan tambahan melalui perannya sebagai marbot.
Dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab, Nur melaksanakan tugasnya sebagai marbot dengan baik. Ia membersihkan dan merawat musola dengan penuh dedikasi, menjadikannya tempat ibadah yang nyaman dan bersih bagi para jamaah.
Cita-cita memiliki galeri pribadi
Meskipun harus menempuh jalan yang berliku, Nur tetap memancarkan rasa optimis. Bahkan sekalipun usahanya di bidang kaligrafi saat ini dianggap belum mampu memberikan kesejahteraan secara ekonomi, Namun Nur tetap yakin bahwa masa depan cerah menanti di ujung perjalananya.
Dengan wajah penuh keyakinan, Nur tetap berpegang teguh pada cita-citanya memiliki galeri pribadi. Tempat di mana karya-karyanya bisa dipamerkan dan dihargai oleh banyak orang. Impian tersebut tidak hanya menjadi motivasi bagi Nur, tetapi juga menjadi pendorong dalam setiap langkahnya. “Cita cita saya mah cuma pengen punya tempat semacem galeri”. Ucap Nur.
Kisah perjuangan dan keteguhan Nur merupakan cermin dari semangat yang tak terkalahkan. Meskipun harus menghadapi rintangan dan tantangan, Nur terus melangkah maju dengan keyakinan bahwa suatu hari nanti, semua usahanya akan terbayar dengan hasil yang memuaskan.