i Dpagi-pagi buta, di sebuah pulau kecil di utara pulau Jawa tepatnya di Pulau Tunda terlihat sejumlah perahu-perahu nelayan meluncur dari pelabuhan, menghiasi samudra dengan warna-warni kehidupan. Pagi di Pulau Tunda, adalah waktu ketika nelayan-nelayan tersebut bertukar cerita dan senyum di antara kecupan embun, siap mengarungi perairan yang tak pernah berhenti menceritakan rahasia laut.
Namun, di balik sinar matahari yang memeluk pulau ini, senyap terabaikan di antara rumah-rumah kayu dan jalan-jalan pasir putih. Pulau yang menjadi rumah bagi ratusan keluarga nelayan ini menyimpan rahasia yang tak terlihat dari keindahan paginya. Mayoritas penduduknya, dengan penuh keberanian, merangkak di atas perahu-perahu mereka setiap hari, namun hidup di bawah garis kemiskinan seakan menjadi angin laut yang tak kunjung mereda.
Mayoritas penduduk Pulau Tunda merupakan para seniman penakluk ombak. Dengan perahu kayu sederhana mereka melibas lautan setiap pagi demi mengais rezeki. Namun, meskipun samudra melimpah dengan kekayaan alam, garis kemiskinan seperti badai yang tak pernah surut selalu mengintai. Keterbatasan ekonomi menjadikan setiap tangkapan ikan sebagai harapan sekaligus kekhawatiran yang tak terelakan tatkala hasil tangkapanya tak sebanding dengan jerih payah di laut.
“Hidup sebagai nelayan di Pulau Tunda ini keras. Kita bergantung pada laut untuk mencari rezeki, tapi sering hasil tangkapan tidak sebanding dengan usaha yang kita keluarkan,” ujar Asmudi salah seorang nelayan asal Pulau Tunda dengan tatapan mata yang mencerminkan kelelahan saat menyandarkan perahunya seusai pergi melaut.

Siang yang Terlupakan
Saat matahari mencapai puncaknya, Pulau Tunda berada dalam pelukan terik yang tak kenal ampun. Di tengah panas yang melanda, perahu-perahu nelayan kembali berlabuh di pelabuhan, membawa pulang harapan yang tak selalu terwujud. Siang di Pulau Tunda memiliki karakter uniknya sendiri. Di saat matahari menapakkan bayangannya ke seluruh pelosok pulau, kehidupan yang terlupakan pun mulai menampakkan diri.
Listrik, seakan menjadi komoditas mewah, lantaran keberadaanya hanya bisa dinikmati pada malam hari yaitu pukul 6 sore hingga 6 pagi. Di siang hari, seluruh aktivitas pulau menjadi laksana film hitam-putih yang tanpa musik latar. Mesin-mesin penangkap ikan terdiam, sementara anak-anak bermain di tepian pantai tanpa kehadiran gadget modern seperti yang dilakukan oleh anak-anak di tempat lain pada umumnya.
Selain karena terbatas, Terang malam di Pulau Tunda bukanlah pemberian gratis. Masyarakat di pulau ini harus merogoh kocek sebesar 5 hingga 10 ribu rupiah per malam, biaya yang tidak sepele di tengah keterbatasan ekonomi yang melekat pada pulau ini. Mahalnya biaya listrik di pulau ini disinyalir karena Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hasil pembangunan pemerintah tak lagi dapat digunakan sejak beberapa tahun terakhir, sehingga mereka kini hanya mengandalkan mesin diesel hasil rakitan sebagai sumber energi satu satunya.
Bagi mereka yang memiliki ekonomi lebih, mesin genset menjadi mahkota yang memberikan keistimewaan. Namun meski demikian, mereka yang dapat membeli mesin genset untuk menikmati listrik 24 jam jumlahnya sangat terbatas bahkan bisa terhitung jari sehingga membuat jarak antara kenyataan dan keinginan tampak semakin terbuka lebar di antara mereka.
Suara bernada keluhan ini disampaikan langsung oleh salah seorang pemuda pulau Tunda bernama Alex. “Kehidupan di sini sangat terbatas karena listrik hanya tersedia pada malam hari. Pada siang hari, kami hidup tanpa listrik,” ucapnya saat mencoba menggambarkan realitas yang mereka hadapi sehari-hari.

Listrik mereduksi proses demokrasi
Keterbatasan listrik di Pulau Tunda tidak hanya menghambat aktivitas sehari-hari, tetapi juga menciptakan kesenjangan informasi yang cukup signifikan. Salah satunya akses informasi terkait tahapan pemilu, sebuah topik yang tengah ramai diperbincangkan oleh masyarakat di berbagai penjuru Indonesia saat ini.
Akibat terbatasnya akses listrik, proses demokrasi menjadi tereduksi. Mereka kehilangan akses langsung terhadap informasi mengenai calon-calon, platform politik, dan prosedur pemilu. Hal ini tidak hanya menutup pintu partisipasi dalam proses demokrasi, tetapi juga menciptakan jurang pengetahuan yang berpotensi memengaruhi keputusan politik masyarakat.
“ada banyak momen penting yang terlewatkan karena kita tidak punya listrik di siang hari. Berita, informasi hiburan, semuanya harus ditunda hingga malam tiba. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga hak kita untuk mendapatkan akses informasi yang seharusnya.” Ucap salah seoang warga bernama Aminudin.

Kekecewaan masyarakat Pulau Tunda semakin mendalam dengan kenyataan bahwa berbagai janji yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat yang pernah datang ke pulau tersebut tidak pernah terealisasi. Janji-janji pembangunan, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan akses listrik mungkin pernah menggema di telinga warga, namun kenyataannya janji tersebut hanya berupa ilusi yang tak kunjung mewujud.
“Mereka datang, memberi janji manis, berfoto, dan pergi. Tapi setelah itu, tidak ada yang berubah,” ujar Amin dengan nada datarnya.
Ketidakrealisasian janji-janji tersebut menyisakan rasa frustrasi di kalangan masyarakat Pulau Tunda. Harapan untuk perubahan yang lebih baik terasa semakin menjauh, sementara mereka dituntut untuk terus berjuang dengan keterbatasan listrik, ketidaksetaraan pendidikan, dan masalah-masalah sehari-hari lainnya.