Waddedaily.com | Jakarta, Dalam setiap langkah dan kesempatan, baik saat duduk bersidang di ruang-ruang megah Istana maupun ketika menyapa masyarakat di pelosok yang jauh dari hiruk-pikuk ibu kota, ada satu elemen yang nyaris tak pernah absen dari sosok Yandri Susanto yakni peci hitam.
Simbol sederhana itu kembali mencuri perhatian dalam rapat terbatas mengenai percepatan koperasi desa dan kelurahan Merah Putih. Dalam unggahan akun Instagram Sekretariat Kabinet, Senin (23/6/2025), tampak Presiden Prabowo memimpin jalannya rapat bersama jajaran menteri.
Di antara mereka, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal itu konsisten tampil dengan peci hitam yang seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati dirinya. Bagi Yandri, peci hitam bukan sekadar pelengkap busana, melainkan simbol perjalanan untuk membangun negeri yang harus dimulai dari dasar, dari desa, dengan hati yang bersih dan niat yang tulus.
Saat ia menapaki jalan tanah ke kampung-kampung terpencil, duduk bersila bersama petani dan tokoh adat, peci itu tetap bertengger, menjadi saksi atas dedikasi dan kesetiaannya untuk hadir, mendengar, dan memberi makna pada pembangunan yang berpihak.
Peci itu, menurut pengakuannya dalam sebuah wawancara, adalah penanda identitas sekaligus pengingat amanah.
“Peci ini tampak sederhana, tapi tanggung jawabnya tak ringan. Setiap kali saya memakainya, saya diingatkan akan siapa saya dan untuk siapa saya bekerja,” ujar Yandri.
Di mata masyarakat desa, peci hitam bukan sekadar kain penutup kepala. Ia adalah simbol kehormatan, kesopanan, dan kearifan. Digunakan saat ibadah, hadir di hajatan, menyimak musyawarah kampung, bahkan saat panen raya, peci hitam menyatu dalam denyut kehidupan masyarakat. Para sesepuh dan tokoh adat kerap mengenakannya sebagai lambang kebijaksanaan dan kedewasaan.
Anak-anak muda pun tak ketinggalan. Mereka memakainya saat Hari Raya, atau ketika menghadiri pengajian, seolah ingin menyambung tali tradisi dengan generasi sebelumnya. Di balik bentuknya yang sederhana, peci hitam mencerminkan nilai-nilai luhur yakni tata krama, religiusitas, dan kesahajaan.
Yang menarik, meski bentang Nusantara terbentang luas dengan keragaman adat, bahasa, dan budaya, peci hitam hadir sebagai benang halus yang menyatukan. Di Madura, Minangkabau, Bugis, hingga Sunda, peci ini muncul dalam berbagai rupa dan bahan, namun mengusung pesan yang sama yakni persatuan dalam kesederhanaan.
Dan di tengah keragaman itu, Yandri Susanto memilih tetap setia bukan hanya kepada peci hitam, tapi kepada makna yang dikandungnya yakni sebuah komitmen untuk melayani, dari desa, untuk Indonesia. (Daud Bengkulah)