Waddedaily.com | Angin segar baru saja berhembus di kabinet Presiden Prabowo Subianto, ketika nama Yandri Susanto dikukuhkan sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal.
Dua hari usai pelantikan, publik menunggu gebrakan sang menteri baru, berharap pada harapan yang ia bawa. Namun, alih-alih prestasi yang jadi sorotan, sebuah surat resmi mengubah riak harapan itu menjadi ombak kritik.
Surat tersebut bukanlah kebijakan pembangunan, bukan pula gagasan untuk desa-desa terpinggirkan. Itu adalah undangan haul, sebuah acara mengenang sang ibu yang telah tiada.
Dan yang menjadi pemantik pertanyaan publik adalah penggunaan kop surat yang tertera di sudut atas, menunjukkan surat itu dikeluarkan atas nama kementerian.
Seperti awan mendung yang tak diundang, kritik itu datang dari tokoh yang tak asing, Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, yang gerak-geriknya selalu disorot.
Dengan tangan tegas namun bijak, ia menggoreskan kritik di laman media sosial pribadinya, @mahfudmd. Kritiknya yang lugas dan tajam seakan mengundang khalayak untuk merenung lebih dalam.
“Kop surat dan stempel resmi tidak boleh dipakai untuk acara pribadi dan keluarga, termasuk ponpes dan Ormas sekalipun. Hati-hati menggunakan atribut dan simbol pemerintahan,” tulis Mahfud.
Seperti batu yang dilempar ke permukaan air, cuitan Mahfud itu memicu gelombang besar. Media sosial pun berubah menjadi arena perang opini.
Netizen bersahut-sahutan dalam mengekspresikan pendapatnya. Sebagian menyambut kritik Mahfud dengan setuju, bahkan tak sedikit yang memperuncingnya.
“Inilah pentingnya memberikan jabatan kepada orang yang tepat dan mengerti akan tugas, bukan diangkat menteri sebagai ucapan terimakasih saja,” tulis seorang pengguna Instagram.
Sementara yang lain berkomentar, “Spek ketua RW dikasih jabatan menteri. Seharusnya beliau paham, mana yang resmi, mana yang pribadi.”
Namun, di tengah badai kritik yang kian menggulung, beberapa suara pembela juga muncul, mencoba menenangkan keadaan. Mereka melihat kesalahan ini sebagai kekeliruan yang masih bisa diperbaiki.
“Ini memang keliru, tapi cukuplah diingatkan secara pribadi. Tidak perlu sampai dibesar-besarkan,” ujar seseorang yang memilih bersikap lebih moderat.
D tengah badai kritik itu, Yandri Susanto tak tinggal diam. Seolah berjalan di atas karpet panas, ia langsung menyusun kata-kata, bukan untuk berkelit, tetapi untuk menjelaskan dan meredam.
Dalam pernyataannya, ia tak mengelak, bahkan berterima kasih kepada Mahfud atas kritik yang dilontarkan. “Terima kasih kepada Pak Mahfud yang sudah mengeritik itu, dan tidak akan kita ulangi lagi,” ujar Yandri.
Ia pun berusaha menegaskan bahwa undangan tersebut tidak ditujukan hanya kepada kepala desa, tetapi juga kepada pejabat tinggi lainnya. Mulai dari Pj Gubernur yang diwakili oleh Sekda, rektor, alim ulama, dan tokoh masyarakat.
“Sebenarnya acara ini bukan hanya kepala desa saja kita undang,” ungkap Yandri seakan berharap bahwa publik memahami nuansa yang lebih luas dari sekadar sebuah surat.