Waddedaily.com | Awan mendung yang terjadi di bulan Desember kali ini tidak hanya sekadar pertanda musim hujan bagi warga Desa Domas, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang, Banten.
Warna kelabu dari bulan ini semakin menebal ketika banjir rob datang tanpa permisi, merambah rumah-rumah warga, dan melawan batas yang biasa dipatuhi oleh air laut.
Tidak ada suara peringatan, tidak ada tanda-tanda sebelumnya yang ada hanya kedatangan air yang mendekap desa dengan tak kenal ampun.
Air laut yang biasanya terikat pada garis pantai, kini melintasi batasan alam, merendam halaman rumah, pekarangan, bahkan ruang keluarga, hingga setinggi lutut.

Banjir rob ini bukan fenomena tahunan. Kehadirannya yang mendalam mengejutkan banyak orang, termasuk Rokayah, salah satu warga Desa Domas yang menjadi korban.
Di tengah hari yang tampak biasa, ia harus menatap rumahnya berubah menjadi lautan sesaat. “Banjirnya se lutut, masuk ke rumah,” ungkap Rokayah dengan suara pelan Senin, (16/12/24).
Dampak dari kedatangan air asin ini jauh lebih kompleks. Tidak hanya rumah warga yang terendam, tetapi juga empang-empang ikan bandeng yang menjadi tumpuan ekonomi mereka.
Lumpur bercampur garam meliputi kolam-kolam ikan, mencemari harapan akan panen yang baik. Para petambak kini dihantui kecemasan, berhadapan dengan ancaman kehilangan mata pencaharian yang sudah mereka anggap sebagai bagian dari hidup mereka.
“Kita tergantung dari empang ini. Kalau rob sering datang, bisa habis ikan-ikan di sini,” keluh Muhibin, seorang petambak yang tampak gelisah.
Selain masalah ekonomi, ada juga masalah kesehatan yang datang bersamaan dengan banjir rob ini. Sebagian warga mulai merasakan gatal pada kulit mereka, akibat bakteri yang terbawa dalam air asin yang merendam kampung.
“Jualan susah, gorengan susah, kompornya basah. Kakinya tuh gatal kena air asin,” tambah Rokayah.
Meski musibah banjir rob ini telah memberikan dampak buruk terhadap masalah ekonomi dan kesehatan warga. Namun belum terlihat adanya tanda-tanda bantuan datang menyapa mereka.
Kehadiran pemerintah seolah terhenti pada laporan bencana yang hanya tercatat di meja-meja pejabat, tanpa ada tindak lanjut nyata di lapangan.
Warga desa yang terdampak harus bertahan dengan kekuatan sendiri, berhadapan dengan tantangan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.
“Belum ada yang datang. Cuma penyakit kulit aja yang datang. Itu pun udah bikin resah,” ungkap Rokayah dengan nada kecewa.
Warga Desa Domas kini harus berjuang tidak hanya melawan banjir, tetapi juga berhadapan dengan ketidakpastian masa depan, yang tak lagi bisa diprediksi dengan mudah. Dan, meski air sudah berangsur surut, ketakutan akan datangnya rob berikutnya terus menghantui mereka.