Waddedaily.com | Serang, 19 April 2025 — Di tengah kesibukan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Serang, suara yang paling jujur justru terdengar dari warung kopi kecil di samping kantor Bawaslu Kabupaten Serang.
Bukan dari TPS, bukan pula dari podium kampanye melainkan dari meja kayu penuh cangkir dan asap rokok yang menggantung di udara pagi.
Empat orang duduk melingkar, berbicara pelan tapi jelas. Tak ada semangat pemilu, tak ada perdebatan pilihan. Hanya ada nada sumbang yang mencerminkan luka lama kekecewaan.
“Kami bukan enggak peduli,” kata salah satu dari mereka yang enggan disebutkan namanya.
“Kami cuma muak. Ini bukan soal uang, tapi soal kelakuan. Pejabat datang waktu butuh suara, hilang waktu rakyat butuh mereka.” lanjutnya kembali sambil mengaduk kopi perlahan.
Pernyataan itu seperti menegaskan bahwa rasa pahit tak hanya berasal dari cangkir, tapi juga dari pengalaman panjang yang ditinggalkan oleh mereka.
Keempatnya sepakat memilih Golput hari ini. Bukan karena apatis, tapi karena merasa tak lagi punya harapan terhadap jalanya pemerintahan.
“Pencoblosan? Buat apa? Nama boleh ganti, perilaku tetap sama,” tegasnya disambut senyum tipis kawan yang lain.
Obrolan mereka bukan sekadar keluhan biasa melainkan potret suram demokrasi karena telah hilang makna di mata masyarakat luas.
Lebih ironisnya, suara sumbang ini lahir tepat di samping kantor lembaga pengawas pemilu. Sebuah tempat yang seharusnya menjadi simbol integritas dan kepercayaan publik terhadap jalanya pemilihan umum.