Waddedaily.com | Cilegon, — Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Serang yang menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Saenah, Ridho alias Rahmi, dan Emi, menuai beragam reaksi dari publik.
Ketiganya adalah terdakwa kasus penculikan dan pembunuhan Aqilatunnisa Prisca Herlan (5), bocah perempuan asal Cilegon yang tewas setelah dianiaya oleh orang-orang yang justru dikenal dekat oleh keluarganya.
Putusan itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Dessy Darmayanti, dalam sidang yang digelar beberapa hari lalu. Ketiga terdakwa dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana dan melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
“Menjatuhkan pidana kepada para terdakwa tersebut dengan pidana masing-masing seumur hidup,” ujar Dessy, dikutip dari laman resmi PN Serang, Minggu (29/6/2025).
Meski dinilai adil secara hukum, keputusan tersebut tidak serta-merta meredakan amarah dan duka warga Kompleks BBS, Kelurahan Ciwedus, Cilegon tempat tinggal korban dan para pelaku.
Warga menyebut tragedi ini sebagai bentuk “pengkhianatan kemanusiaan” dari orang-orang yang justru dianggap bagian dari lingkungan dekat.
“Kami masih sulit percaya bahwa orang-orang yang sering duduk bersama kami di warung, ternyata bisa berbuat sekeji itu,” ujar Asep, tetangga korban, kepada media awak media.
Dalam fakta persidangan terungkap, motif pembunuhan bermula dari sakit hati Ridho terhadap ibu korban, Amelia Pransica, yang sering meminta bantuan tanpa imbalan. Rencana balas dendam yang awalnya ditujukan kepada Amelia berubah arah setelah diketahui ia sedang hamil besar. Anak semata wayangnya, Aqila, kemudian dijadikan sasaran.
Pada 17 September 2024, Aqila dibujuk dengan boneka pisang dan dibawa ke sebuah gudang kosong. Di sanalah nyawanya direnggut, setelah mengalami kekerasan oleh para pelaku. Bukti rekayasa dan rencana pembunuhan yang matang memperkuat pasal yang dikenakan, termasuk Pasal 340 KUHP dan pasal dalam UU Perlindungan Anak.
Di media sosial, tagar #KeadilanUntukAqila kembali ramai. Banyak warganet merasa vonis seumur hidup belum sebanding dengan penderitaan yang dialami korban. Namun, sebagian pihak menilai hukuman seumur hidup sudah cukup memberatkan, mengingat sifat pembunuhan berencana ini kini tercatat sebagai catatan hukum berat yang tidak bisa dinegosiasi.
Terlepas dari polemik hukuman, kasus ini menjadi cermin gelap tentang bagaimana konflik sosial yang dibiarkan tumbuh dalam diam bisa berujung pada tragedi. Pemerhati anak dan psikolog sosial menyerukan pentingnya membangun komunikasi sehat dalam komunitas serta menguatkan sistem perlindungan terhadap anak-anak dari ancaman di lingkungan terdekat sekalipun.
“Tragedi Aqila bukan sekadar kasus kriminal, ini alarm sosial bahwa dendam dewasa bisa merenggut hidup anak tak berdosa,” kata Irma Yuliana, aktivis perlindungan anak di Banten.