Jurnalisme adalah nyala. Tapi hari ini, salah satu lentera itu berangsur mulai meredup.
Angin dari ruang redaksi hari ini tak lagi membawa aroma kopi dan naskah. Yang tercium adalah getir. Gedung kaca Kompas TV, yang dulu memantulkan semangat kerja dan ambisi akan berita yang bersih, kini seolah berduka dalam diam.
Bukan karena berita yang disiarkan, tetapi karena berita yang harus dijalani. Ratusan karyawan harus pamit, menanggalkan ID card mereka, meninggalkan layar dan lembar naskah yang tak selesai dibaca.
Kompas TV melakukan rightsizing. Sebuah kata yang terdengar klinis, nyaris tanpa emosi. Tapi bagi para jurnalis, produser, kameramen, teknisi suara, dan staf pemasaran yang kehilangan pekerjaannya, ini bukan sekadar “efisiensi.” Ini adalah titik koma dalam hidup mereka—yang bisa menjadi akhir, atau babak baru yang belum tentu datang dengan kejelasan.
Dari ruang studio yang kini lengang, terdengar gema langkah terakhir seorang penyiar, menggantungkan blazer kerja yang telah setia menemaninya dalam ratusan breaking news.
Di ruang editing, lampu padam tak hanya mematikan mesin, tapi juga kenangan tentang malam-malam panjang menyusun visual demi visual untuk tayangan pukul enam pagi.
Pecahnya Riuh Menjadi Sepi
Tak ada peluit tanda mulai. Tak ada countdown kamera. Yang ada hanya surat pemberitahuan, senyap yang panjang, dan tatapan mata kosong rekan kerja yang tahu bahwa esok mereka takkan berbagi meja lagi.
Satu per satu mengemasi barang. Mulai dari buku jurnalistik, headset rusak, mug hadiah ulang tahun redaksi, dan setumpuk kenangan akan idealisme.
Rightsizing ini, seperti badai, tak pilih kasih. Dari divisi News yang siang malam berburu fakta, Programming yang merangkai tontonan yang mendidik, hingga Sales & Marketing yang berjibaku dengan angka dan target—semuanya terkena hempasan.
Krisis Media: Ketika Bisnis Bertabrakan dengan Misi
Media bukan sekadar industri. Ia adalah pelayan publik, penutur kebenaran, penyaksi zaman. Tapi ketika tekanan ekonomi menggerus iklan, ketika pemerintah memangkas anggaran promosi, dan ketika algoritma media sosial menguasai preferensi masyarakat, jurnalisme terpaksa tunduk pada kalkulasi.
Kompas TV adalah korban dari pertarungan tak seimbang antara idealisme dan neraca keuangan. Bukan karena mereka kurang bekerja keras, melainkan karena realitas terlalu keras. Dalam dunia yang makin tak sabar membaca, suara jernih berita kalah cepat dengan sensasi.
Pesangon dan Perpisahan
Manajemen menjanjikan pesangon sesuai undang-undang. Tapi adakah undang-undang yang mampu mengganti arti kehilangan tempat di mana seseorang tumbuh, mencintai pekerjaannya, dan merasa memiliki peran di panggung bangsa? Tak ada angka yang cukup untuk membayar lunas rasa kecewa dan duka yang disulam dalam hati.
Hari ini, ruang siaran itu bukan hanya kehilangan suara. Ia kehilangan nyawa-nyawa yang pernah menghidupkannya. Tapi jurnalis sejati tak mati. Mereka hanya berganti medium. Karena kata-kata selalu menemukan jalan.
Penutup: Doa untuk Para Penjaga Layar
Kepada mereka yang berpamitan hari ini: kalian bukan “mantan karyawan.” Kalian adalah bagian dari sejarah. Dari narasi besar yang bernama Kompas TV. Dan dari satu babak yang ditulis dengan kerja keras dan integritas, kini kalian membuka lembar baru. Mungkin tanpa lampu studio. Tapi dengan cahaya dari dalam—bahwa pernah, kalian menjadi suara bagi yang tak terdengar. Dan itu… takkan pernah layoff.