Waddedaily.com – Di balik gema cakrawala, tersembunyi cerita pahit seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) bernama Maemuroh, asal Serang, Banten, yang terperangkap di Jeddah, Arab Saudi. Kisah hidupnya dirajut oleh benang-benang kesulitan, penderitaan, dan kerinduan yang terus menghantui setiap langkahnya.
Maemuroh, wanita berusia 69 tahun yang dengan tulus mengabdikan dirinya sebagai pekerja migran, menemui kisah pilu di bawah bayang-bayang menara-menara megah Arab Saudi. Ia bukan saja menjadi saksi bisu atas kerasnya dunia buruh migran, tetapi juga korban dari perlakuan tidak manusiawi yang dialaminya sehari-hari.
Riwayat tragis dimulai sejak Maemuroh berangkat pada tahun 2004. Pada setiap butir debu di tanah Saudi, ia mencetak jejak perjuangan yang tak pernah berakhir. Kendati berhasil pulang sejenak pada tahun 2008, namun ia kini terjebak dalam labirin ketidakpastian, dimana pintu pulangnya ditutup rapat oleh sang majikan yang tak kenal belas kasihan.
Puncak tragedi terjadi saat suami dan anak ketiganya meninggal dunia, dan Maemuroh harus menghadapi kenyataan pahit bahwa tak sejengkal pun ia diijinkan pulang untuk mengubur orang-orang yang dicintainya. Kemerahan matahari Arab Saudi semakin menyiksanya ketika setiap detiknya diisi oleh rindu kepada tanah air yang kian menjauh.
Di tengah terik padang pasir yang menyiksa, Maemuroh hanya bisa merasakan hembusan angin sejuk Indonesia melalui layar video call. Komunikasi terbatas ini menjadi satu-satunya jembatan bagi Maemuroh untuk tetap terhubung dengan keluarganya. Melalui panggilan-panggilan virtual, ia menyampaikan kerinduannya akan pelukan tanah air yang semakin terasa seperti khayalan.
“Rasanya tak ada akhirnya. Saya lelah, ingin pulang,” ucap Maemuroh, suaranya dipenuhi dengan kelelahan yang teramat dalam. Tetapi, desakan itu tak hanya berhenti di doa dan kerinduan. Ia memohon kepada keluarganya untuk mencarikan bantuan, sebuah tali keselamatan yang diharapkan bisa merengkuhnya dari kungkungan penderitaan di Arab Saudi.
“Emak lelah nak, tolong carikan bantuan supaya emak bisa pulang,” ungkap Maemuroh di ujung percakapan dengan anak sulungnya Bayu Permana melalui sambungan Video Call Whatsapp.
Kisah Maemuroh menggambarkan betapa rumitnya jaringan masalah yang melibatkan TKW di luar negeri. Pemerintah dan lembaga terkait diharapkan dapat melibatkan diri lebih aktif dalam membantu para pekerja migran yang terjebak dalam cengkeraman kontraktor dan majikan yang tidak mengindahkan hak asasi manusia.
Dalam bayang-bayang menara tinggi di Jeddah, seruan Maemuroh membentuk suara lantang bagi seluruh TKW yang merintih di negeri orang. Semoga suara ini tidak hanya menjadi galang pengabdian dan perjuangan Maemuroh semata, tetapi juga jalan keluar bagi ribuan pekerja migran yang merindukan pelukan hangat tanah airnya. (WD)