Waddedaily.com – Desa Kendayakan di Kabupaten Serang, Banten, menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang janda tua berusia 65 tahun yang menghadapi kehidupan yang penuh liku-liku.
Dalam kondisi rumah yang nyaris roboh, Janda tua bernama Mama menjalani kehidupannya di bawah garis kemiskinan yang memperihatinkan sekaligus menyedihkan.
Di tengah kesulitan ekonomi yang di alaminya. Mama harus berjuang merawat cucu dari anak keduanya yang secara kebetulan mengidap Down Syndrome.
Hibah Tanah: Jejak Kebaikan yang Membangkitkan Harapan
Selain kesulitan ekonomi, tanah seluas 6×9 yang kini di tempati sebagai tempat tinggalnya pun diketahui merupakan hasil hibah dari tetangganya yang merasa iba. Tanpa tanah itu, mungkin Ibu Mamah dan cucunya akan menjadi pengembara di tengah kehidupan yang penuh kesulitan.
“Tetangga saya memberi saya tanah ini tanpa syarat. Mereka merasa iba melihat kondisi saya. Ini adalah anugerah terbesar dalam hidup saya,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.
Rumah yang Nyaris Roboh: beralaskan tanah menjadi Saksi Bisu Perjuangan
Rumah Ibu Mamah dengan atap yang bocor dan beralaskan tanah, menjadi lambang perjuangannya sehari-hari. Meski nyaris roboh, rumah itu tetap menjadi tempat perlindungan bagi Ibu Mamah dan cucunya yang membutuhkan perhatian ekstra.
“Saya tak punya tempat lain untuk tinggal. Rumah ini mungkin tak seberapa, tapi penuh dengan kenangan dan kasih sayang,” ucap Ibu Mama dengan mata penuh ketabahan.
Merawat Cucu dengan Down Syndrome: Kisah Hati yang Tak Kunjung Terselesaikan
Cucu Ibu Mamah berusia 4 tahun, mengidap Down Syndrome. Perawatan yang intensif dan kebutuhan khusus menjadi beban tambahan bagi Ibu Mamah. Namun, ia menerima takdirnya dengan tangan terbuka, menghadapi setiap hari dengan keberanian yang luar biasa.
“Saya tidak akan pernah meninggalkan cucu saya. Meski tak kunjung mendapatkan bantuan dari orang tua anak saya, kita bisa bertahan,” tambahnya dengan suara penuh ketegasan.
Orang Tua yang Tidak Kunjung Menafkahi: Tanggung Jawab Mamah sebagai Nenek pun Terus Berlanjut
Sementara itu, orang tua dari cucu Ibu Mamah tidak kunjung memberikan kontribusi atau nafkah bagi keluarga tersebut. Bahkan mereka jarang pulang dan terlihat tidak memperhatikan kondisi cucu mereka yang mengidap Down syndrome.
“Saya sudah mencoba meminta bantuan dari mereka, tapi sepertinya tidak ada respons. Mungkin takdir saya untuk menghadapi ini sendiri,” ucap Ibu Mamah dengan nada penuh kesedihan.
Mengandalkan Bantuan Tetangga: Solidaritas di Desa Kendayakan
Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, Ibu Mamah hanya bisa mengandalkan bantuan dari tetangga-tetangganya yang baik hati. Mereka memberikan sumbangan makanan, pakaian, dan barang kebutuhan sehari-hari sebagai bentuk solidaritas di dalam komunitas kecil mereka.
“Tetangga-tetangga saya adalah malaikat yang datang menyelamatkan kami. Tanpa bantuan mereka, saya tidak tahu bagaimana kami bisa bertahan,” ujarnya sambil mengingat kayu bakar.
Harapan dan Keberlanjutan: Melangkah dengan Tangan Terbuka
Meski hidup di bawah garis kemiskinan dan dihadapkan pada kondisi yang sulit, Ibu Mamah tidak pernah kehilangan harapan. Setiap hari adalah tantangan baginya untuk tetap terus melangkah dengan kondisi tangan terbuka.
“Saya hanya berharap cucu saya bisa tumbuh bahagia. Mungkin tak banyak yang bisa saya berikan, tapi saya akan berjuang sekuat tenaga,” ujarnya sambil tersenyum penuh harapan.
Desa Kendayakan: Jejak Solidaritas di Balik Keterbatasan
Cerita ini juga mencerminkan solidaritas di Desa Kendayakan yang menjadi perekat bagi masyarakatnya. Meskipun hidup dalam keterbatasan, tetangga-tetangga setempat terus berupaya memberikan dukungan dan bantuan.
Sebuah Panggilan untuk Perhatian Lebih dan Bantuan Bersama
Kisah Ibu Mamah dan cucunya adalah suara yang memerlukan perhatian lebih. Artikel ini diakhiri dengan sebuah panggilan untuk membantu sesama, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan mendukung mereka yang hidup dalam kondisi sulit. Melalui kisah ini, kita diingatkan akan kekuatan, keberanian, dan kepedulian yang bisa membawa perubahan di tengah kesulitan hidup. (Wd)