Desa Mekarsari, Kecamatan Rangkasbitung, Lebak Banten. Dahulu, dikenal sebagai salah satu desa dengan perwujudan keindahan alamnya yang memikat, hamparan persawahan yang subur dan kehijauan pepohonan yang melambai, memberikan kesan yang begitu asri dan damai.
Namun sayang, kesan asri yang menjadi ciri khas Desa ini kini telah sirna, terkubur oleh kehadiran tangan-tangan serakah yang hanya memikirkan keuntungan pribadi. Mereka dengan rakusnya mengeksploitasi alam, mengubah seluruh area yang dulunya subur dan rindang menjadi lautan tambang yang gersang dan tandus.
Desa Mekarsari kini terasa seperti mengalir di sungai kesedihan yang tak berujung. Suasana yang dulu penuh dengan kehidupan dan kehangatan kini telah tergantikan oleh gemuruh mesin-mesin berat dan deru truk-truk pengangkut, menggantikan nyanyian burung-burung dan angin sepoi-sepoi yang biasa menyapa.
Penduduk Desa Mekarsari, yang dulunya hidup dalam keharmonisan dengan alam, kini terpaksa bergelut dengan pilihan-pilihan sulit. Banyak di antara mereka yang terpaksa meninggalkan mata pencaharian tradisional mereka sebagai petani, dan beralih menjadi buruh tambang demi mencari nafkah yang semakin sulit di tengah ketidakpastian.
Dampak Kelam Tambang di Desa Mekarsari
Terletak di jalur strategis antara Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang, desa ini menjadi sasaran empuk bagi para pemodal yang rakus akan keuntungan. Mereka datang dengan segala ambisinya, mengukir jejak tambang di setiap sudut tanah Desa Mekarsari.
Dahulu, desa ini dikenal dengan pesona alamnya yang memesona, namun kini, keindahan itu telah berganti dengan pemandangan yang penuh dengan kerusakan dan kehancuran. Jalanan yang dulunya dilalui oleh petani dan pedagang kini menjadi saksi bisu dari deru truk-truk besar yang mengangkut material tambang.
Tatkala hujan turun, hampir dapat dipastikan seluruh jalanan yang ada di desa ini berubah layaknya sebuah perlintasan ternak sapi dan kerbau karena di penuhi oleh kubangan air bercampur lumpur. Sehingga tidak heran, banyak dari para pengguna jalan yang terjatuh akibat jalanan yang licin.
Masyarakat Desa Mekarsari merasa terpukul dan terjepit di antara kepentingan ekonomi dan keberlangsungan lingkungan. Mereka sangat merindukan masa-masa damai dan sejahtera seperti dahulu pernah mereka rasakan. Di mana mereka hidup berdampingan dengan alam yang indah.
Memperjuangkan Keadilan di Tengah Keterbatasan
Kondisi sumberdaya manusia yang rendah seakan memperparah keadaan karena suara sumbang yang selama ini berseliweran di kalangan mereka hanya terbatas di tingkat obrolan warung kopi dan tidak pernah sampai ke telinga para penguasa.
Mereka terjebak dalam lingkaran ketidaktahuan akan hukum dan aturan mengenai isu pertambangan, sehingga membuat mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan kekuatan besar yang mewakili kepentingan ekonomi dari pengusaha tambang.
Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi wakil sekaligus pembela kepentingan rakyat, tampaknya lebih memilih untuk menutup mata atas kerugian yang dialami oleh masyarakat Desa Mekarsari. Mereka terlihat lebih memihak pada kepentingan para pemilik modal daripada memperhatikan kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang yang merusak tersebut.
Suara Perlawanan dalam Keheningan Teror
Ditengah kebutaan masyarakat akan hukum dan aturan yang menyelimuti isi kepala setiap masyarakat, muncul seorang aktivitas muda dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Lebak yang merasa terpanggil atas persoalan ini. Dialah Muntadir namanya.
Dengan latar belakang pendidikan dan pemahamannya yang kuat tentang hukum dan hak asasi manusia. Aktivis muda ini dengan lantang menyuarakan hak-hak masyarakat yang selama ini dirampas oleh kepentingan kaum pemodal serakah.
Berdasarkan hasil kajiannya, sejumlah perusahaan tambang yang selama ini mengekploitasi kampung halamannya, selain dinilai sebagai satu satunya penyebab kerusakan alam. Perusahaan tersebut pun dipastikan tidak mengantongi ijin resmi.
Muntadir pun lantas melaporkan sejumlah temuannya kepada aparat penegak hukum dalam hal ini Satreskrim Polres Lebak atas dugaan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia pada tanggal 2 Januari 2024 lalu.
“Dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 58, ancaman hukumannya adalah 5 tahun penjara dan denda Rp 100 miliar!” ucap Muntadir dengan nada yang berapi-api, memancarkan keberaniannya untuk menegakkan keadilan di kelahiranya yang kini tengah terluka.
Namun, ironisnya, apa yang seharusnya menjadi langkah awal untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak masyarakat Desa Mekarsari justru berujung pada serangkaian intimidasi dan teror dari pihak-pihak yang merasa terusik dengan gerakannya.
Pesan-pesan bernada ancaman terus mengalir seiring berjalannya waktu dari sudut yang tidak terduga. Bahkan sejumlah komunitas yang mendukung perjuangannya pun tidak luput aksi teror. Sehingga membuat setiap langkahnya seperti berjalan di atas bara api.
Di tengah badai teror yang menerpa, semangat perlawanan Muntadir dan rekan-rekannya tidak pernah padam. Mereka memilih untuk tetap berdiri teguh, menghadapi rintangan dan ketakutan dengan keberanian yang sama.
“kami akan tetap buktikan bahwa hukum di Lebak itu masih ada. Dan tidak ada satupun yang kebal hukum, termasuk aparat penegak hukum sekalipun” ucap Muntadir menyiratkan kegelisahan dan harapan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum setempat.
Orang Nomor Dua di Polda Banten Menjadi Harapan
Keberadaan galian tanah Merah yang diduga tidak berijin di Desa Mekarsari ini tidak hanya menggema di dunia nyata, tetapi juga meluas di jagad maya. Suara-suara dari masyarakat daring pun ikut bersorak, menggambarkan kekhawatiran dan keprihatinan akan kondisi lingkungan yang semakin tergerus oleh aktivitas tambang ilegal ini. Bahkan, dampaknya sampai ke telinga para aparat penegak hukum, termasuk Wakapolda Banten, Brigjen M. Syabilul Alif, yang tak bisa mengabaikan sorotan yang semakin ramai.
Dalam sebuah postingan pada akun Instagram pribadinya pada awal tahun 2024 tepat pada 02 Januari lalu, Jenderal Bintang Satu ini merespon dengan kalimat yang sederhana namun sarat makna, “Saya atensi ini,” sebuah janji yang menimbulkan harapan di tengah kegelisahan masyarakat.
Namun, dua bulan telah berlalu sejak postingan itu muncul, tidak ada satupun tanda-tanda bahwa aktivitas galian tanah Merah ini akan dihentikan. Bahkan, eskalasi dari aktivitas tambang ilegal ini justru semakin meningkat dari hari ke hari, seolah menjadi bayangan yang semakin menakutkan bagi masyarakat Desa Mekarsari.
Ketidakpastian dan kekhawatiran masyarakat semakin bertambah seiring berlalunya waktu tanpa adanya tindakan yang nyata dari pihak berwenang. Mereka menyaksikan dengan penuh kekhawatiran bagaimana lingkungan mereka semakin terkikis dan kehidupan mereka semakin terganggu oleh deru mesin-mesin tambang yang tidak henti-hentinya beroperasi, bagaikan nyanyian kematian yang menghantui.
Masyarakat pun mulai merasa putus asa dan frustasi dengan lambannya respons dari pihak berwenang. Ketidakpastian yang menggelayuti mereka seperti kabut tebal yang tak kunjung reda. Dalam kegelapan ini, mereka merintih dan berharap agar ada sinar harapan yang menerangi jalan keluar dari permasalahan yang semakin meruncing ini.