Waddedaily.com | Pagi itu, Minggu (05/09) dini hari, sebuah kenyataan mengejutkan mengusik tidur nyenyak para petugas Polres Serang. Belasan tahanan dikabarkan kabur, meninggalkan jeruji besi yang seharusnya menjadi penghalang kebebasan mereka. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 14 tahanan berhasil meloloskan diri, dan tak ada yang tahu bagaimana mereka melakukannya hingga saat ini.
Desas-desus yang beredar di tengah masyarakat, begitu cepat seperti api yang menyebar di rerumputan kering. Konon, para tahanan berhasil memotong jari-jari jendela teralis besi sel, dengan cara yang masih menjadi misteri.
Tak ada jejak jelas, hanya dugaan dan asumsi. Di bawah kegelapan malam, mereka menembus batas yang selama ini dianggap mustahil untuk dilalui. Para tahanan itu hilang di antara bayangan dini hari yang dingin, meninggalkan tanda tanya besar di belakang mereka.
Namun, keanehan lain yang lebih mencolok muncul setelah kaburnya para tahanan. Media lokal yang biasanya tajam dan sigap memberitakan insiden semacam ini, tiba-tiba senyap. Tidak banyak berita yang keluar, seolah-olah angin kabur ini berhenti bertiup begitu saja di sekitar Polres Serang.
Waktu berlalu, beberapa hari terlewati, dan tidak banyak yang tahu mengenai detail kejadian. Akses untuk mengkonfirmasi kejadian ini seolah tertutup rapat.
Misteri Kaburnya belasan tahanan ini tampak semakin dalam ketika Kapolres Serang, AKBP Condro Sasongko, yang dikenal sebagai sosok polisi humor berkat video-videonya yang viral di media sosial, juga tidak muncul ke permukaan untuk memberikan penjelasan terkait insiden ini.
Dalam situasi normal, kehadirannya yang aktif dan komunikatif menjadi harapan bagi publik untuk mendapatkan informasi jelas. Namun, kali ini, suaranya seakan sirna, menambah spekulasi mengenai kebisuan di balik kaburnya para tahanan.
Begitu juga dengan keberadaan para wartawan yang berusaha menggali informasi tampaknya terhenti di tengah jalan. Isu berkembang bahwa keterbatasan ini bukan semata-mata karena akses informasi yang tertutup, tetapi karena adanya dugaan ikatan tak kasat mata yang membelenggu.
Persahabatan yang terbangun antara jurnalis dan pihak kepolisian diduga menjadi salah satu penyebab utama kebisuan ini. Hubungan yang selama ini erat terjalin, kini justru menjadi simpul yang mengikat kebebasan informasi.
Bukan tanpa alasan, banyak wartawan merasa enggan untuk menyakiti perasaan narasumber mereka yang selama ini memberikan informasi eksklusif, menjaga agar hubungan profesional tidak berubah menjadi ketegangan.
“Kami sudah sangat dekat dengan pihak Polres. Menulis berita seperti ini akan sulit, karena dampaknya tentu akan merusak hubungan baik yang sudah dibangun selama ini,” ujar salah seorang wartawan media lokal yang enggan disebutkan namanya.
Pernyataan itu mencerminkan dilema yang dirasakan oleh banyak jurnalis di wilayah tersebut. Di satu sisi, mereka tahu bahwa ini adalah berita besar yang harus diberitakan. Di sisi lain, hubungan persahabatan yang terbangun dengan pihak berwenang membuat tangan mereka seolah tertahan untuk menuliskan fakta yang ada.
Namun, di tengah kesenyapan media lokal, justru media dari luar daerah yang pertama kali membawa berita ini ke permukaan. Berita kaburnya 14 tahanan Polres Serang muncul di media nasional dan beberapa media lokal dari kota lain dan tentunya mengundang keheranan ditengah masyarakat.
Keanehan ini semakin terasa ketika publik mulai bertanya-tanya mengenai proses pelarian yang tampaknya terencana dengan rapi. Bagaimana bisa 14 orang memotong jari-jari teralis besi di penjara tanpa ketahuan? Bagaimana mereka mendapatkan alat-alat untuk meloloskan diri? Apakah ada bantuan dari dalam? Semua pertanyaan ini masih menjadi teka-teki yang belum terjawab.
Hingga kini, pihak kepolisian belum memberikan penjelasan resmi yang jelas dan rinci mengenai bagaimana peristiwa ini bisa terjadi. Kebisuan ini, bagaimanapun, menjadi cerminan dari situasi yang lebih luas di dunia jurnalistik. Ketika hubungan dekat antara wartawan dan narasumber terjalin begitu erat, keobjektifan berita terkadang menjadi korban.
Di sisi lain, media luar yang tidak memiliki ikatan emosional dengan pihak terkait justru mampu memberikan perspektif yang lebih bebas dan jernih. Kasus kaburnya tahanan ini adalah bukti nyata bagaimana relasi sosial bisa mempengaruhi jalannya arus informasi.
“Ini situasi yang rumit. Wartawan di sini sangat tergantung pada akses yang diberikan oleh Polres untuk meliput berita lain. Kalau kami mengkritik atau menulis sesuatu yang dianggap terlalu keras, akses itu mungkin saja bisa ditutup,” ujar salah satu editor media lokal yang juga enggan memberikan identitasnya.
Sementara itu, pencarian terhadap para tahanan yang kabur terus dilakukan. Polres Serang, meski terdiam dalam pemberitaan, gencar melakukan upaya penangkapan kembali para pelarian. Hingga berita ini ditulis, beberapa tahanan dikabarkan mulai berhasil ditangkap dan dijebloskan kembali ke dalam tahanan. Namun mengenai jumlahnya hingga kini masih simpang siur.
Di balik pelarian para tahanan ini, ada sesuatu yang lebih besar yang menggema dibenak hati masyarakat yaitu tentang sebuah sistem informasi yang bisa terhenti oleh jalinan relasi sosial. Ketika simpul-simpul persahabatan terjalin secara erat tidak jarang kebenaran menjadi korbanya.